FANA MENURUT SEBAGIAN TOHOK SUFI

Abu Isma’il Abdullah bin Muhammad al-Anshari, yang lahir di Herat, Khurasan. Al-Harawi adalah seorang faqih Hambaliyah. Karya Al-Harawi yang terkenal ialah Manazil as-Sa’irin ila Rabb al-’Alamin, di kitab tersebut dia ber kata, “Kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bisa tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keikhlasan serta keikutan terhadap as-Sunnah.” Manazil Sa’irin, mendapatkan syarah dan komentar dan Ibnu Qoyyim ( wafat pada 751 H ) dalam kitab Manarij Salikin. Serta dari al-Lakhmi ( wafat 650 H ) dan juga dari al-Farkawi (wafat pada 795 H ) .

Menurut al-Harawi, Fana‘ terdiri dari 3 tingkatan, “Kefanaan adalah luluhnya apa yang selain Yang Maha Benar, baik karena pengetahuan, penolakan, ataupun karena benar-benar luluh.”

Yang pertama ialah luluh dan tercerai berainya pengenalan terhadap Allah, sehingga seorang sufi yang mengalaminya sirna dalam Yang Diketahuinya dari pengenalan terhadap Dia.

Yang kedua, Penolakan terhadap hal yang normal sewaktu dalam keadaan fana‘, hal ini bukanlah pengingkaran yang hakiki.

Yang ketiga ialah keluluhan yang hakiki. ABU Yazid al-Busthami yang nama lengkapnya Thaifur ibn ‘Isa ibn Sarusyan, Beliau berasal dari Bustham. Meninggal pada tahun 261 H (riwayat lain 264 H ).

Beberapa Kitab yang mengisahkan tentang al-Bustami diantaranya: Thabaqat al-Shufiyyah karya dari al-Sulami, al-Luma’ karya dari al-Thusi, al-Risalah al-Qusyairiyyah karya al-Qusyairi. al-Bustami begitu diliputi keadaan Fana’, tercermin dari banyak ungkapannya yang diriwayatkan berasal darinya dia berkata : ” Mahluk mempunyai berbagai keadaan. Tapi Seorang arif tidak mempunyai keadaan. Sebab ia mengabaikan aturan-aturannya sendiri. Identitasnya sirna pada identitas yang lainnya, dan bekas-bekasnya gaib pada bekas-bekas lainnya.” Hal ini mustahil terjadi kecuali dengan ketertarikan penuh seorang arif kepada Allah, sehingga dia tidak menyaksikan selain-Nya. Seorang arif, menurut Abu Yazid al-Bustami, “dalam tidurnya tidak melihat selain Allah, dan dalam jaganya pun tidak melihat selain Allah. Dia tidak seiring dengan yang selain Allah, dan tidak menelaah selain Allah.

Ibn ‘Atha’illah al-Syakandari: ” Ketahuilah! Sebagian orang berkata bahwa Abu Yazid ingin tidak berkeinginan, karena Allah mengingininya. Semua orang sepakat bahwa dia tidak mempunyai keinginan. Bersama-Nya , dia tidak menginginkan apa pun dan tidak mengingininya. Dalam kehendaknya, dia tidak ingin, seiring dengan kehendak Allah”.

Tentang Penyatuan al-Bustami mengungkapkan: “ Akupun keluar dari Yang Maha Benar menuju Yang Maha Benar dan akupun berseru: duh, Engkau yang aku! Telah kuraih kini peringkat kefanaan.” Dan katanya yang lain, “Sejak tiga puluh tahun yang silam, Yang Maha Benar adalah cermin diriku. sebab kini aku tidak berasal dari diriku yang dahulu.”

al-Qusyairi, yang wafat pada tahun 465 H,ijriyyah Karya al-Qusyairi yang sangat Fenomenal adalah Risalah Qusyairiyyah. Dalam Kitabnya tersebut al-Qusyairi berpendapat tentang Fana‘, “Barangsiapa menyaksikan terjadinya kemampuan diluar berbagai kondisi hukum maka dikatakan bahwa dia fana‘ dari apapun yang terjadi pada makhluk.”


Al-Qusyairi ber kata: “Jika seorang sufi fana’ dari angan-angan terhadap hal-hal yang menimbulkan rangsangan, ia kekal dalam sifat-sifat Yang Maha Benar. Dan barang siapa didominasi oleh daya hakekat, sehingga dia tidak lagi melihat hal-hal yang menimbulkan rangsangan, baik dalam bentuk benda, dampaknya, gambarnya, atau bayang-bayang, dikatakan bahwa dia fana dari makhluk dan kekal dalam Yang Maha Benar.” (al-Qusyairi)

Tentang hilangnya perasaan dan kesadaran, ketika seorang sufi tidak lagi merasakan yang terjadi pada organ tubuhnya tidak pula dirinya dan alam luasnya, al-Qusyairi ber kata: “Jika dikatakan bahwa ia fana dari dirinya, dan dia tanpa perasaan maupun kabar. Jadi dirinya masih tetap ada, begitupun halnya makhluk-makhluk yang masih ada, tapiia lupa terhadap dirinya dan semua makhluk, dan dia tidak merasakan dirinya dan semua makhluk.”


al-Qusyairi, berucap, “Terkadang Anda melihat seseorang datang menemui seorang penguasa atau seorang yang berpengaruh, dia terkadang lupa terhadap dirinya dan orang-orang yang disekitarnya karena perasaan bergolak yang dialaminya. Sehingga malah lupa terhadap orang yang berpengaruh itu. Sehingga kalau ditanya, setelah dia keluar dari pertemuan itu dan gejolak dalam dadanya telah mereda dan dirinya telah tenang, dia tidak bisa bercerita tentang yang dialaminya.

Menurut al-Qusyairi, untuk mencapai Fana’ seorang sufi harus melalui berbagai tahap:
Pertama, kefanaanya dari dirinya sendiri, dan sifat-sifatnya dan kekelannya dalam sifat-sifat Yang Maha Benar.
kedua, kefanaannya dari sifat-sifat Yang Maha Benar karena melihat Yang Maha Benar.


ketiga, kefanaannya dari penyaksian terhadap kefanaannya sendiri dalam mempergunakannya terhadap wujud Yang Maha Benar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *